HAM Sebagai Isu Global
BANYAK usaha
dari sementara kalangan di Masyarakat Eropa untuk memasukkan faktor-faktor
non-ekonomis, seperti masalah pemeliharaan lingkungan hidup dan HAM (Hak Asasi
Manusia) dalam hubungan bantuan keuangan dan kerja saama ekonomi antara
Indonesia dengan Masyarakat Eropa. Kini faktor-faktor tersebut mulai
berpengaruh dalam hubungan kerja sama ekonomi dan bantuan keuangan.
Persoalannya
kemudian ialah bagaimana kita dapat mengajukan sebuah respon yang positif dan
rasional. Tingkat pembangunan dan kedewasaan kita sekarang tampaknya tidak lagi
mengizinkan kita untuk secara emosional bereaksi dengan go to hell with your
aid. Lagipula, isu HAM khususnya tidak hanya akan muncul dalam hubungan
Indonesia dengan Masyarakat Eropa, tetapi juga dengan “negara-negara utara”
lainnya. Isu HAM tampaknya akan menjadi salah satu isu yang akan mewarnai
hubungan antara negara-negara selatan dan negara-negara utara, dengan pihak
pertama yang akan merasa “terpojokkan”.
Maka
yang dibutuhkan kemudian ialah bahasa yang sama, katakanlah “kerangka dialog”,
yang sedikit formalistis dan sedikit filosofis yang dapat dipahami dan malahan
dijunjung tinggi oleh “pihak sana”, tetapi tidak menjadikan “pihak sini”
senantiasa menjadi underdog yang diajar-ajari dan disalah-salahkan. Ini
barangkali akan lebih efektif dan produktif. Berkilah bahwa kita punya konsep
sendiri tentang HAM yang digali dari khasanah budaya sendiri, biarpun
barangkali benar, tentu lebih sukar dipahami oleh “pihak sana”. Suka atau
tidak, hak asasi manusia sudah menjadi unsur penting dalam global narrative
kita sekarang.
Tekstur HAK
Asasi
Kesadaran
historis umat manusia dengan tekstur yang dicapainya sekarang, tertuang dalam
“Piagam Hak-hak Asasi Manusia” PBB (Universal Declaration Of Human Roghts).
Tekstur ini pun dicapai dengan susah payah melalui berbagai chaos,
fluctuation atau systemmerty breaking process dalam bentuk berbagai
revolusi, malaise ekonomi, dan perang. Kita barangkali dapat
menggambarkannya dalam cara yang analog dengan cara seorang paleontolog atau
arkeolog memperlakukan lapisan-lapisan geologis.
Dari lapisan yang berasal dari abad
ke-17, kita mewarisi kesadaran akan, katakanlah, hak-hak asasi untuk merdeka,
seperti secara tajam tersimpul dalam filsafat si orang Inggris, John Locke.
Hak-hak asasi ini mengacu pada perlunya menjaga martabat manusia sebagai mahluk
rasional berhadapan dengan kemungkinan polusi yang timbul dari fitrahnya
sebagai mahluk sosial. Semua hak dasar yang menghalau campur tangan negara dan
masyarakat, terutama hak hidup, hak atas kebebasan bergerak dan hak milik
pribadi. Hak-hak untuk merdeka ini terutama tercantum dalam pasal 1 sampai
dengan pasal 18 piagam PBB.
Dari lapisan yang berasal dari abad ke-18, kita
temukan kesadaran akan, katakanlah, hak-hak asasi demokrasi yang khususnya
mencuat dalam pemikiran si orang Perancis, Jean-Jacques Rousseau. Hak-hak asasi
ini menekankan perlunya partisipasi si mahluk rasional dalam lingkungan dimana
ia hidup sebagai mahluk sosial. Inilah hak untuk ikut membangun sejarah dan
masyarakat dengan tangan sendiri. Hak untuk berserikat, mengemukakan pendapat,
memilih wakil dan juru bicara yang terpecaya, termasuk disini, Pasal 19 sampai
dengan 22 dari piagam PBB rupa-rupanya berbicara lantang tentang hak-hak
demokrasi ini.
Akan tetapi, untuk menjaga
martabatnya yang rasional dan untuk dapat berpatisipasi sebagai mahluk sosial
yang rasional, manusia juga perlu sehat, makan kenyang, tidak terlalu letih,
punya waktu luang. Inilah hak asasi sandang, pangan, papan, perkejaan. Inilah hak
asasi padi dan kapas. Manusia pada akhirnya adalah juga mahluk bertubuh.
Kesejahteraan tubuhnya ikut berbicara dalam kiprah rasional dan sosialnya. Kita
mewarisi kesadaran ini pada lapisan yang terutama berasal dari abad ke-19.
Mungkin si orang Jerman, Ludwig Andreas Feuerbach, tidak seratus persen benar.
Mengatakan bahwa “manusia adalah apa yang dia makan”, terasa kasar dan
berlebihan. Namun apa yang tercantum dalam pasal 23 sampai dengan 28 piagam
hak-hak asasi PBB merupakan pengakuan, bahwa ia tidak sepenuhnya salah.
Pemerataan Dan
Restrukturisasi
Dari tiga
lapisan dalam tekstur kesadaran global tentang hak asasi itu, hak asasi
kemerdekaan dan hak asasi demokrasilah yang lazimnya dikait-kaitkan dengan
bantuan negara maju kepada negara berkembang. Adanya capital punishment terselubung,
dan tanpa prosedur pengadilan, dipersoalkan (karena hak atas hidup lalu tidak
terjamin). Adanya pembangunan sarana dan prasarana tanpa izin sepenuhnya dari
rakyat yang dirugikan, dipersoalkan (karena hak demokrasi lalu diabaikan).
Kedua contoh ini mengacu pada kasus-kasus yang dikenal sebagai kasus-kasus
penembakan misterius dan pembangunan waduk kedongombo.
Kesulitannya adalah bahwa
kemerdekaan untuk memiliki tidak berarti, kalau orang tidak boleh memiliki
apa-apa. Dan hak untuk berserikat tidak berbunyi, kalau orang tidak punya uang
lebih untuk naik bus ke tempat rapat atau kalau waktu luangnya harus dipakai
untuk mencari penghasilan tambahan. Maka terdengar masuk akal, bila
negara-negara berkembang memberi prioritas pertama pada pembangunan ekonomi.
Dilihat dari kacamata hak asasi, pembangunan ekonomi haruslah dikaitkan dengan
usaha menjamin hak asasi padi dan kapas dari setiap warga negara, atau
pemerataan. Sulitnya lagi, begitu kita dengar dari para ekonom, pembangunan
ekonomi itu pun dipengaruhi oleh pola-pola hubungan ekonomi global.
Jadi, hak atas kemerdekaan dan hak
demokrasi seringkali sukar terwujud dalam konstelasi politik dalam negeri suatu
negara berkembang karena posisi negara itu sebagai negara pinggiran dalam
konstelasi ekonomi internasional. Hak untuk merdeka dan hak untuk berpatisipasi
tidak sepenuhnya terjamin, karena “susunan sosial internasional” tidak
menjamin, mengabaikan, bahkan melanggar hak-hak padi dan kapas dari kebanyakan
warga negara berkembang. Ini justru terjadi antara lain karena negara-negara
maju ternyata lebih mementingkan kepentingan (ekonomi) nasional mereka
dibandingkan kepentingan kemanusiaan sebagaimana mereka gembar-gemborkan.
Kepada negara-negara maju, khususnya
negara-negara donor yang rewel, ada baiknya diingatkan klausul yang berbunyi,
bahwa “setiap orang berhak atas susunan sosial internasional” yang memungkinkan
terlaksananya semua hak yang tercantum dalam piagam PBB itu. Pelaksanaan hak
untuk merdeka dan hak untuk berpatisipasi berkaitan erat dengan pertumbuhan
ekonomi, dan pada gilirannya dengan struktur dependensi global, yang untuk
sebagian disebabkan oleh ulah negara-negara maju sendiri.
Kemerdekaan Dan
Demokrasi
Di lain pihak, sudah cukup sering
disuarakan bahwa kredibilitas negara-negara berkembang akan naik di mata
negara-negara donor, apabila ditunjukkan usaha-usaha nyata ke arah perbaikan
pelaksanaan hak-hak asasi untuk merdeka dan untuk berpatisipasi itu. Setidaknya
harus ada isyarat dari pihak negara berkembang, bahwa mereka memang punya goodwill
dan political will untuk mewujudkan komitmen mereka dalam peraturan umat
manusia atau global narrative ini.
Dari sudut etis juga dikemukakan,
bahwa tidak ada hak moral bagi satu bangsa untuk memperjuangkan suatu “susunan
sosial internasional” yang menghormati hak asasi manusia, apabila di dalam
negerinya sendiri tidak dijalankan penghormatan semacam itu.
Namun lebih dari itu, pertumbuhan
ekonomi sebagai “jembatan emas” ke arah terlaksanya pemerataan atau terjaminnya
hak asasi padi dan kapas akan tidak efektif, apabila tidak disertai hak untuk
merdeka dan, lebih lagi, hak untuk berpatisipasi serta menegakkan demokrasi.
Kalau pers hanya bertaburan dengan bahasa birokrat dan hanya punya sedikit
kesempatan untuk mengangkat bahasa rakyat sendiri, kalau orsospol sudah puas
dengan hanya menjadi organisasi peserta Pemilu, kalau pemberantasan buta huruf
di pelosok-pelosok tidak disertai dengan pemberantasan buta-politik, kalau
vokal diasosiasikan dengan nakal, maka sulitlah untuk mengontrol agar
pertumbuhan mengarah kepada pemerataan.
Agar bantuan luar negeri, termasuk
suntikan modal untuk untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi, mecapai sasarannya
sebagai sarana untuk mengingatkan pelaksanaan hak asasi, maka perlu ditumbuhkan
iklim dimana orang yang diperlakukan tidak adil, bisa mengatakan bahwa ia
diperlakukan tidak adil; orang yang melihat kecurangan, tidak takut-takut untuk
mengatakan, bahwa ia menyaksikan penyimpangan; dan orang yang merasa
ditelantarkan, tidak sungkan-sungkan untuk berkata bahwa ia ditelantarkan.
Dalam tekstur kesadaraan kita
tentang hak asasi manusia, ketiga lapisan itu ternyata saling mengandalkan.
Daripada bersifat geologis, tekstur itu tampaknya lebih bersifat organis. Sifat
organis dari tekstur hak asasi inilah yang kelak akan terbukti sebagai
pencapaiaan abad ke-20. Dan dalam melaksanakan hak asasi sebagai unsur
fundamental (mungkin paling fundamental) dari global narrative kita sekarang
dibutuhkan ketetapan hati untuk melakukan kritik ke luar maupun otokritik ke
dalam.
Rezky
Nabil Adam Harahap
Bandung,
05 Mei 2017
Komentar
Posting Komentar